Ini Bukti Baru Berolahraga Bisa Kurangi Depresi
Apakah aktivitas fisik mengurangi depresi, atau justru depresi yang mengurangi aktivitas fisik?
Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Psychiatry menunjukkan berolahraga memiliki efek perlindungan tubuh terhadap depresi.
Dengan menggunakan data genetik 300 ribu orang dewasa, peneliti pada Rumah Sakit Umum Massachusetts, AS, memastikan mereka yang beraktivitas fisik lebih tinggi memiliki kemungkinan lebih rendah mengalami gangguan depresi.
"Kami menemukan bukti bahwa tingkat aktivitas fisik yang lebih tinggi bisa mengurangi risiko depresi," jelas Dr Karmel Choi yang memimpin penelitian ini.
Disebutkan, melakukan aktivitas fisik selama 15 menit setiap hari dapat mengurangi risiko depresi sekitar 26 persen.
"Secara rata-rata, melakukan lebih banyak aktivitas fisik mencegah meningkatnya depresi. Aktivitas apa pun juga lebih baik daripada tidak sama sekali," jelasnya.
Namun demikian, penelitian ini tak menemukan bukti depresi mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berolahraga.
Menurut Dr Joseph Firth, peneliti pada Western Sydney University, mereka yang depresi memiliki risiko aktivitas fisik yang berkurang.
"Orang yang depresi kurang aktif dibandingkan masyarakat umum, namun penelitian ini menyatakan belum tentu depresi yang menyebabkannya," kata Dr Firth yang tak terlibat dalam penelitian tersebut.
"Bisa jadi karena faktor sosial," katanya.
Olahraga sebagai pencegahan
Dr Firth menjelaskan, depresi umumnya dianggap sebagai epidemi terutama di masyarakat Barat.
Menurut dia, temuan penelitian ini bisa mendorong skema baru kesehatan masyarakat, yaitu menggunakan aktivitas fisik dan olahraga bukan hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental.
Dr Choi mengatakan pihaknya masih terus mencari cara terbaik yang akan direkomendasikan bagi mereka yang berisiko depresi.
"Kami ingin tahu apakah dan seberapa banyak manfaat aktivitas fisik bagi kelompok risiko depresi yang berbeda, misalnya mereka yang secara genetik rentan terhadap depresi atau mereka yang mengalami situasi stres," jelas Dr Choi.
Penelitian terdahulu juga telah menunjukkan hubungan antara peningkatan aktivitas fisik dan penurunan risiko depresi.
Namun, sampai sekarang sulit memastikan hubungan sebab dan akibatnya.
Karena itu, para peneliti mengalihkan fokus pada genetika karena gen umumnya tidak tergantung pada faktor lingkungan dan sosial.
Mereka mengamati kelompok responden yang membawa varian genetik terkait peningkatan aktivitas fisik, dan apakah varian ini berdampak pada risiko depresi.
Alasan mereka yaitu, jika berolahraga mengurangi timbulnya depresi, maka orang dengan gen yang membuat mereka cenderung berolahraga, seharusnya lebih kecil kemungkinannya mengalami depresi.
"Jika A menyebabkan B di dunia nyata, faktor apa pun yang memengaruhi A juga harus memengaruhi B dengan cara yang sama," jelas Dr Choi.
Peneliti menemukan tingkat aktivitas fisik lebih tinggi yang diukur secara objektif dan ditunjukkan oleh varian gen terkait, ada hubungannya dengan tingkat depresi yang lebih rendah.
Namun temuan ini tidak terulang pada orang yang melaporkan sendiri aktivitas fisiknya. Artinya, orang tersebut kemungkinan tidak akurat melaporkan tingkat aktivitas fisik sebenarnya.
Untuk mengetahui apakah olahraga dan depresi berkaitan dua arah, para peneliti menganalisa hubungan varian genetik depresi dengan perubahan tingkat aktivitas fisik.
Peneliti memastikan permasalahannya tidak seperti itu. Artinya, tidak ada bukti bahwa depresi itu sendiri mengurangi tingkat olahraga seseorang.
"Kami tak melihat pola seperti itu dalam data genetik, terlepas dari bagaimana aktivitas fisik seseorang diukur," jelas Dr Choi.
Pakar olahraga dan kesehatan mental Australia Profesor Alex Parker menilai temuan penelitian ini sejalan dengan berbagai studi sebelumnya.
"Tampaknya mulai ada kepastian soal dosis olahraga yang diperlukan untuk efek anti-depresi," kata Prof Parker.
"Namun disarankan untuk mendapatkan manfaat kesehatan mental dari aktivitas fisik, maka dosisnya mungkin kurang dibanding jika ingin mendapatkan manfaat kesehatan fisik," jelasnya.
Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Psychiatry menunjukkan berolahraga memiliki efek perlindungan tubuh terhadap depresi.
Dengan menggunakan data genetik 300 ribu orang dewasa, peneliti pada Rumah Sakit Umum Massachusetts, AS, memastikan mereka yang beraktivitas fisik lebih tinggi memiliki kemungkinan lebih rendah mengalami gangguan depresi.
"Kami menemukan bukti bahwa tingkat aktivitas fisik yang lebih tinggi bisa mengurangi risiko depresi," jelas Dr Karmel Choi yang memimpin penelitian ini.
Disebutkan, melakukan aktivitas fisik selama 15 menit setiap hari dapat mengurangi risiko depresi sekitar 26 persen.
"Secara rata-rata, melakukan lebih banyak aktivitas fisik mencegah meningkatnya depresi. Aktivitas apa pun juga lebih baik daripada tidak sama sekali," jelasnya.
Namun demikian, penelitian ini tak menemukan bukti depresi mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berolahraga.
Menurut Dr Joseph Firth, peneliti pada Western Sydney University, mereka yang depresi memiliki risiko aktivitas fisik yang berkurang.
"Orang yang depresi kurang aktif dibandingkan masyarakat umum, namun penelitian ini menyatakan belum tentu depresi yang menyebabkannya," kata Dr Firth yang tak terlibat dalam penelitian tersebut.
"Bisa jadi karena faktor sosial," katanya.
Olahraga sebagai pencegahan
Dr Firth menjelaskan, depresi umumnya dianggap sebagai epidemi terutama di masyarakat Barat.
Menurut dia, temuan penelitian ini bisa mendorong skema baru kesehatan masyarakat, yaitu menggunakan aktivitas fisik dan olahraga bukan hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental.
Dr Choi mengatakan pihaknya masih terus mencari cara terbaik yang akan direkomendasikan bagi mereka yang berisiko depresi.
"Kami ingin tahu apakah dan seberapa banyak manfaat aktivitas fisik bagi kelompok risiko depresi yang berbeda, misalnya mereka yang secara genetik rentan terhadap depresi atau mereka yang mengalami situasi stres," jelas Dr Choi.
Penelitian terdahulu juga telah menunjukkan hubungan antara peningkatan aktivitas fisik dan penurunan risiko depresi.
Namun, sampai sekarang sulit memastikan hubungan sebab dan akibatnya.
Karena itu, para peneliti mengalihkan fokus pada genetika karena gen umumnya tidak tergantung pada faktor lingkungan dan sosial.
Mereka mengamati kelompok responden yang membawa varian genetik terkait peningkatan aktivitas fisik, dan apakah varian ini berdampak pada risiko depresi.
Alasan mereka yaitu, jika berolahraga mengurangi timbulnya depresi, maka orang dengan gen yang membuat mereka cenderung berolahraga, seharusnya lebih kecil kemungkinannya mengalami depresi.
"Jika A menyebabkan B di dunia nyata, faktor apa pun yang memengaruhi A juga harus memengaruhi B dengan cara yang sama," jelas Dr Choi.
Peneliti menemukan tingkat aktivitas fisik lebih tinggi yang diukur secara objektif dan ditunjukkan oleh varian gen terkait, ada hubungannya dengan tingkat depresi yang lebih rendah.
Namun temuan ini tidak terulang pada orang yang melaporkan sendiri aktivitas fisiknya. Artinya, orang tersebut kemungkinan tidak akurat melaporkan tingkat aktivitas fisik sebenarnya.
Untuk mengetahui apakah olahraga dan depresi berkaitan dua arah, para peneliti menganalisa hubungan varian genetik depresi dengan perubahan tingkat aktivitas fisik.
Peneliti memastikan permasalahannya tidak seperti itu. Artinya, tidak ada bukti bahwa depresi itu sendiri mengurangi tingkat olahraga seseorang.
"Kami tak melihat pola seperti itu dalam data genetik, terlepas dari bagaimana aktivitas fisik seseorang diukur," jelas Dr Choi.
Pakar olahraga dan kesehatan mental Australia Profesor Alex Parker menilai temuan penelitian ini sejalan dengan berbagai studi sebelumnya.
"Tampaknya mulai ada kepastian soal dosis olahraga yang diperlukan untuk efek anti-depresi," kata Prof Parker.
"Namun disarankan untuk mendapatkan manfaat kesehatan mental dari aktivitas fisik, maka dosisnya mungkin kurang dibanding jika ingin mendapatkan manfaat kesehatan fisik," jelasnya.
Comments
Post a Comment